Search

Perkembangan Perundingan Multilateral

Pertanian

Pada tanggal 19–20 Maret 2018, di New Delhi – India telah diselenggarakan Pertemuan Informal Tingkat Menteri (PITM) World Trade Organization (WTO). PITM merupakan inisiatif India dalam rangka memberikan dorongan politis terhadap perundingan di WTO pasca Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-11 WTO di Buenos Aires, Desember 2017. KTM Buenos Aires sendiri dinilai gagal menyepakati isu-isu substantif dan work program perundingan ke depan.

Isu Pertanian:

  1. Keprihatinan terhadap peningkatan kebijakan-kebijakan perdagangan anggota yang bersifat restriktif dan proteksionis yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip WTO.
  2. Terdapat pandangan umum dari delegasi mengenai ketidakjelasan perundingan di WTO, sebagai akibat dari tidak disepakatinya political guidance pada KTM Buenos Aires.
  3. banyak delegasi berpandangan mengenai pentingnya isu Pertanian, seperti domestic support, solusi permanen bagi PSH dan Special Safeguard Mechanism (SSM).
  4. G33 memandang penting dilanjutkannya proses perundingan isu PSH dan SSM.
  5. Keinginan anggota untuk melanjutkan pembahasan isu-isu Doha dengan menggunakan pendekatan yang lebih fleksibel dan pragmatis; Untuk isu Pertanian, isu domestic support, solusi permanen bagi PSH, cotton dan SSM dinilai sebagai isu prioritas.

Sanitary & Phytosanitary Measures

Sanitary & Phytosanitary Measures

Technical Barriers to Trade

Perkembangan Pembahasan Isu dalam Komite Technical Barriers to Trade (TBT) WTO

TBT Agreement merupakan salah satu perjanjian WTO yang dihasilkan dalam Putaran Uruguay untuk mengatur penggunaan instrumen Non Tarif Measure (NTMs) dalam perdagangan internasional. Perjanjian TBT berisi pengaturan terkait pengunaan standar dan aturan teknis yang mencakup persyaratan pengemasan, penggunaan tanda dan label pada kemasan serta prosedur uji kesesuaian agar dalam penerapannya tidak menciptakan hambatan yang tidak perlu pada perdagangan internasional.

Sidang reguler Komite TBT WTO diselenggarakan sebanyak tiga kali dalam setahun. Dalam sesi pertemuan Informal, sidang membahas mengenai pengalaman anggota WTO terkait topik tertentu. Adapun pada sesi pertemuan regular, sidang membahas mengenai Specific Trade Concerns (STC) yang diangkat oleh negara anggota atas kebijakan negara anggota lainnya. Dalam sidang reguler Komite TBT November 2019, Indonesia mengajukan STC terhadap kebijakan Uni Eropa yaitu EU Renewable Energy Directive (RED) II dan EU Free Palm Oil Labelling. Selain itu terdapat dua kebijakan Pemri yang kembali diangkat oleh sejumlah anggota WTO sebagai STC yaitu Pedoman Teknis Pelaksanaan Standar Nasional Indonesia untuk Mainan Anak dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Partisipasi negara maju (developed economies) dalam STC selalu mendominasi selama dua decade terakhir, adapun partisipasi negara berkembang (developing and emerging economies) semakin meningkat sedangkan partisipasi negara kurang berkembang (least-developed countries) masih sangat rendah jauh di bawah negara berkembang.

Teknologi Informasi

Isu Electronic Commerce (E-Commerce) di WTO

Perundingan isu e-commerce di WTO dimulai dengan adanya pertemuan informal e-commerce pada tanggal 5 Oktober 2017 di Jenewa. Dalam pertemuan tersebut, ketua General Council WTO mendorong seluruh anggota untuk dapat lebih flexible dalam pembahasan isu e-commerce dan mempertimbangkan 3 elemen khusus terkait dengan moratorium pengenaan bea masuk untuk produk yang ditransmisikan secara elektronik, Work Programme on trade‐related aspects of E-Commerce dan pembentukan suatu kelompok kerja dengan mandat khusus.

Pada Konferensi Tingkat Menteri WTO di Jenewa pada tahun 1998, diputuskan diberlakukannya moratorium pengenaan bea masuk untuk barang yang ditransmisikan secara elektronik. Dalam pertemuan KTM WTO XI di Buenos Aires pada tahun 2017 lalu, Para Menteri sepakat untuk melanjutkan pembahasan Work Programme on E-Commerce sesuai mandat yang telah ada dan memperpanjang moratorium pengenaan bea masuk atas transmisi elektronik sampai dengan KTM berikutnya (WT/MIN(17)/65).

Pada tahun 2019, pembahasan isu e-commerce di WTO digulirkan kembali melalui pendekatan plurilateral dalam bentuk Joint Statement on Electronic Commerce Initiatives (JSI) yang bertujuan untuk membahas langkah-langkah prosedural terkait upaya memulai negosiasi untuk merumuskan perjanjian di bidang e-commerce. Para proponen JSI saat ini telah mencapai sekitar 81 negara anggota dan telah mewakili lebih dari 90 persen perdagangan dunia.

Mengingat pentingnya keterlibatan Indonesia dalam pembahasan isu e-commerce dan proses rules making di JSI WTO, pada pertemuan 19-22 November 2019, Indonesia telah menyatakan bergabung dalam JSI on e-commerce. Indonesia juga telah menyampaikan proposal mengenai isu moratorium pengenaan bea masuk untuk produk yang ditransmisikan secara elektronik. Pada pertemuan JSI selanjutnya yang direncanakan akan diselenggarakan pada bulan Februari-Mei 2020, pembahasan dalam JSI akan difokuskan pada perumusan consolidated single text berdasarkan hasil pertemuan JSI sepanjang tahun 2019.

Aksesi

Aksesi

Pengamanan Perdagangan

 Pengamanan Perdagangan

Ketentuan Perdagangan

Ketentuan Perdagangan

Penyelesaian Sengketa

Penyelesaian Sengketa

TRIPS & TRIMS

TRIPS & TRIMS

Perdagangan & Pembangunan

Perdagangan & Pembangunan

Perdagangan & Lingkungan

Perdagangan & Lingkungan

Fasilitasi Perdagangan

Perjanjian Fasilitasi Perdagangan (Trade Facilitation Agreement)

Perjanjian Fasilitasi Perdagangan merupakan bagian dari Paket Bali yang disepakati pada Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-9 di Bali pada bulan Desember 2013. Perjanjian tersebut berlaku efektif pada tanggal 22 Februari 2017, ketika 2/3 Negara Anggota WTO meratifikasi Protokol Perubahan Perjanjian Marrakesh. Indonesia meratifikasi Perjanjian Fasilitasi Perdagangan melalui UU No. 17/2017 tentang Pengesahan Protokol Perubahan Persetujuan Marrakesh mengenai Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Guna memfasilitasi penerapan Perjanjian Fasilitasi, berdasarkan mandat Pasal 23.2 pada Perjanjian Fasilitasi Perdagangan, setiap Negara Anggota membentuk National Committee on Trade Facilitation (NCTF) atau menunjuk suatu mekanisme yang ada untuk memfasilitasi koordinasi dalam negeri terkait penerapan isi Perjanjian. Dalam rangka memenuhi mandat tersebut, Indonesia membentuk Komite Nasional Fasilitasi Perdagangan (KNFP) melalui SK Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 199 Tahun 2018 pada tanggal 11 Mei 2018.

Secara garis besar Perjanjian Fasilitasi Perdagangan mengatur mengenai transparansi informasi terkait ekspor, impor, dan transit, termasuk di dalamnya prosedur, bea masuk dan pajak yang dikenakan, biaya-biaya lainnya, pembatasan atau larangan, dan penalti; prosedur pelepasan dan pembebasan barang; Post-clearance audit; penggunaan standar, penerapan single window, pemeriksaan sebelum pengiriman; dan ketentuan mengenai perlakuan khusus untuk negara berkembang dan kurang berkembang.

Perjanjian Fasilitasi Perdagangan bertujuan untuk meningkatkan perdagangan global melalui peningkatan transparansi dan simplifikasi prosedur ekspor dan impor untuk mempercepat pergerakan, pelepasan dan pembebasan (release and clearance) barang, termasuk barang dalam transit.

Prosedur Perijinan Impor

Prosedur Perijinan Impor

Custom Valuation & Preshipment Inspection

Custom Valuation & Preshipment Inspection

Tinjauan Ketentuan Perdagangan

Trade Policy Review Mechanism (TPRM)
Apa itu TPRM?

TPRM merupakan salah satu mekanisme di WTO guna menjamin transparansi peraturan dan kebijakan perdagangan negara-negara anggota WTO. Perlu digarisbawahi, transparansi merupakan salah satu prinsip utama WTO selain Most Favored Nation (MFN), National Treatment, General Prohibition of Quantitative Restrictions, dan Observance of Binding Levels.

Fungsi dari TPRM sendiri, seperti yang tercantum dalam Annex 3 Marrakesh Agreement adalah untuk memfasilitasi kelancaran fungsi sistem perdagangan multilateral dengan cara meningkatkan transparansi dari kebijakan-kebijakan perdagangan negara-negara anggota. TPRM kemudian menjadi satu-satunya forum WTO dimana segala aspek terkait kebijakan perdagangan suatu negara anggota didiskusikan oleh semua negara anggota lainnya.

Berbeda dengan mekanisme penyelesaian sengketa, TPRM tidak dimaksudkan untuk “mengevaluasi” kepatuhan setiap negara anggota terhadap peraturan-peraturan tertentu. Oleh karena itu, hal-hal yang dihasilkan melalui mekanisme ini tidak dapat dijadikan dasar dalam prosedur penyelesaian sengketa.

Siapa yang menjadi subjek dari TPRM dan kapan TPRM dilaksanakan?

Semua negara anggota WTO menjadi subjek dari review di bawah TPRM. Frekuensi dari review ini bergantung pada ukuran negara:

1. Empat negara anggota dengan bagian terbesar dalam perdagangan dunia (biggest traders) direview dua tahun sekali. Saat ini keempat negara tersebut adalah Uni Eropa, Amerika Serikat (AS), Jepang dan Cina.
2. Enam belas negara anggota urutan berikutnya direview setiap 4 (empat) tahun sekali.
3. Negara-negara lainnya direview setiap 6 (enam) tahun, dengan kemungkinan periode yang lebih panjang bagi negara kurang berkembang (least developed countries/LDCs).
4. Namun, berdasarkan Amandemen terhadap Annex 3 Marrakesh Agreement (Amandemen TPRM) pada tanggal 26 Juli 2017, siklus review ini diubah menjadi 3 (tiga), 5 (lima) dan 7 (tujuh) tahun sekali bagi masing-masing kelompok negara di atas, terhitung sejak 1 Januari 2019.

Bagaimana TPRM dilaksanakan?

Review dilaksanakan oleh Trade Policy Review Body (TPRB) yang pada dasarnya adalah General Council WTO yang beroperasi berdasarkan peraturan dan prosedur khusus. Untuk setiap review dipersiapkan 2 (dua) dokumen: sebuah pernyataan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah negara anggota yang sedang direview dan sebuah laporan terperinci yang ditulis secara independen oleh Sekretariat WTO (Trade Policy Review Division).

Review TPRM terdiri dari beberapa langkah yang waktu pelaksanaannya disepakati oleh Sekretariat WTO dan anggota yang sedang direview. Umumnya urutan pelaksanaan review adalah sebagai berikut:

1. Penetapan tanggal Sidang TPRB.
2. Pengumpulan informasi (Tim Sekretariat dapat berkunjung dalam rangka mengumpulkan informasi yang dibutuhkan).
3. Persiapan dari Laporan Sekretariat.
4. Kunjungan ke negara anggota yang direview oleh Tim Sekretariat WTO untuk diskusi terkait konsep Laporan Sekretariat dengan otoritas-otoritas terkait di negara anggota yang direview.
5. Finalisasi laporan-laporan dan sirkulasi laporan-laporan tersebut kepada negara anggota lainnya untuk diberikan tanggapan.
6. Sidang TPRB membahas review yang sudah dilaksanakan, dibagi menjadi dua sesi:

• Sesi Pertama dibuka dengan pembukaan oleh Ketua Sidang, dilanjutkan dengan pernyataan oleh negara yang direview. Setelah itu discussant* memberikan komentar dan pertanyaan yang diikuti dengan pernyataan dan pertanyaan dari negara-negara anggota lainnya.
• Sesi Kedua negara yang direview memberikan jawaban yang dapat dikomentari oleh discussant dan negara-negara lainnya. Setelah itu sesi ditutup dengan kesimpulan dari Ketua Sidang.

7. Publikasi dari dokumen-dokumen hasil review.

TPRM Indonesia

TPR Indonesia sejauh ini sudah dilaksanakan sebanyak 6 (enam) kali. Sesuai dengan siklus review 6 (enam) tahunan, TPR Indonesia yang berikutnya seharusnya dilaksanakan pada tahun 2019. Namun, sesuai dengan Amandemen TPRM yang mengubah siklus review dari 6 (enam) tahun menjadi 7 (tujuh) tahun, maka melalui surat Dirjen PPI kepada PTRI Jenewa nomor 11/PPI/SD/01/2018 tanggal 8 Januari 2018 perihal Pertimbangan atas Usulan Waktu Pelaksanaan TPR Indonesia disampaikan usulan agar TPR Indonesia yang ke-7 dilaksanakan pada tahun 2020 sesuai dengan siklus review yang baru dengan mempertimbangkan tahun 2019 merupakan tahun pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wapres RI yang akan memungkinkan terjadinya perubahan kebijakan Pemerintah RI.

*Seorang discussant dipilih dari salah satu negara anggota WTO untuk bertindak sesuai kapasitas pribadinya guna memulai dialog di TPRB

Isu Lainnya

Timor Leste telah menyatakan keinginan untuk bergabung menjadi anggota ASEAN pada tanggal 17 November 2011 pada pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-19 di Bali, Indonesia. ASEAN membentuk ASEAN Coordinating Council Working Group (ACCWG) yang bertugas untuk membahas segala hal yang terkait dalam proses aksesi Timor Leste ke ASEAN. Dalam pertemuan ACCWG ke-3 yang dilaksanakan pada tanggal 7 April 2013 di Brunei Darussalam, ASEAN Senior Economic Officials Meeting (SEOM) mempresentasikan kajian independen mengenai implikasi aksesi Timor Leste ke ASEAN. Hasil kajian menunjukkan bahwa dampak ekonomi yang akan diterima oleh Timor Leste apabila bergabung dengan ASEAN tidak terlalu signifikan. Saat ini, Senior Officials’ Meeting of the ASEAN Socio-Cultural Community (SOCA), Senior Officials’ Meeting (SOM), dan Senior Economic Officials Meeting(SEOM) akan melakukan fact finding mission untuk melihat kesiapan Timor Leste dalam proses aksesi ke ASEAN. StatusTimor Leste sebagai observer diforum WTO memberikan peluang yang lebih besar bagi proses aksesi Timor Leste ke ASEAN.