World Trade Organization (WTO) merupakan
satu-satunya organisasi internasional yang mengatur perdagangan internasional.
Terbentuk sejak tahun 1995, WTO berjalan berdasarkan serangkaian perjanjian
yang dinegosiasikan dan disepakati oleh sejumlah besar negara di dunia dan
diratifikasi melalui parlemen. Tujuan dari perjanjian-perjanjian WTO adalah
untuk membantu produsen barang dan jasa, eksportir dan importir dalam melakukan
kegiatannya.
Pendirian WTO berawal dari negosiasi yang
dikenal dengan "Uruguay Round" (1986 - 1994) serta perundingan
sebelumnya di bawah "General Agreement on Tariffs and Trade" (GATT).
WTO saat ini terdiri dari 154 negara anggota, di mana 117 di antaranya
merupakan negara berkembang atau wilayah kepabeanan terpisah. Saat ini, WTO
menjadi wadah negosiasi sejumlah perjanjian baru di bawah "Doha
Development Agenda" (DDA) yang dimulai tahun 2001.
Pengambilan keputusan
di WTO umumnya dilakukan berdasarkan konsensus oleh seluruh negara anggota.
Badan tertinggi di WTO adalah Konferensi Tingkat Menteri (KTM) yang
dilaksanakan setiap dua tahun sekali. Di antara KT, kegiatan-kegiatan
pengambilan keputusan WTO dilakukan oleh General
Council. Di bawahnya terdapat
badan-badan subsider yang meliputi dewan, komite, dan sub-komite yang bertugas
untuk melaksanakan dan mengawasi penerapan perjanjian-perjanjian WTO oleh
negara anggota.
Prinsip pembentukan
dan dasar WTO adalah untuk mengupayakan keterbukaan batas wilayah, memberikan
jaminan atas "Most-Favored-Nation principle" (MFN) dan perlakuan
non-diskriminasi oleh dan di antara negara anggota, serta komitmen terhadap
transparansi dalam semua kegiatannya. Terbukanya pasar nasional terhadap
perdagangan internasional dengan pengecualian yang patut atau fleksibilitas
yang memadai, dipandang akan mendorong dan membantu pembangunan yang
berkesinambungan, meningkatkan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan, dan
membangun perdamaian dan stabilitas. Pada saat yang bersamaan, keterbukaan
pasar harus disertai dengan kebijakan nasional dan internasional yang sesuai
dan yang dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi setiap negara anggota.
Terkait dengan DDA,
KTM Doha pada tahun 2001 memandatkan negara anggota untuk melakukan putaran
perundingan dengan tujuan membentuk tata perdagangan multilateral yang
berdimensi pembangunan. Tata perdagangan ini akan memberikan kesempatan bagi
negara berkembang dan LDCs untuk dapat memanfaatkan perdagangan internasional
sebagai sumber pendanaan bagi pembangunan. Isu-isu utama yang dibahas mencakup
isu pertanian, akses pasar produk bukan pertanian (Non-Agricultural Market Access—NAMA), perdagangan bidang jasa, dan Rules.
Dalam
perkembangannya, isu pertanian khususnya terkait penurunan subsidi domestik dan
tarif produk pertanian menjadi isu yang sangat menentukan jalannya proses
perundingan. Bagi sebagian besar negara berkembang, isu pertanian sangat
terkait dengan permasalahan sosial ekonomi (antara lain food security, livelihood security dan rural
development). Sementara bagi
negara maju, pemberian subsidi domestik mempunyai dimensi politis yang penting
dalam kebijakan pertanian mereka.
Proses perundingan
DDA tidak berjalan mulus. Hal ini diakibatkan oleh perbedaan posisi runding di
antara negara anggota terkait isu-isu sensitif, khususnya pertanian dan NAMA.
Setelah mengalami sejumlah kegagalan hingga dilakukan "suspension"
pada bulan Juni 2006, proses perundingan secara penuh dilaksanakan kembali awal
Februari 2007. Pada bulan Juli 2008, diadakan perundingan tingkat menteri
dengan harapan dapat menyepakati modalitas pertanian dan NAMA, dan menggunakan
isu-isu single-undertaking seperti isu perdagangan bidang jasa,
kekayaan intelektual, pembangunan, dan penyelesaian sengketa. Namun perundingan
Juli 2008 juga mengalami kegagalan.
Berbagai upaya telah
dilakukan untuk mendorong kemajuan dalam perundingan, mulai dari pertemuan
tingkat perunding, Pejabat Tinggi, dan Tingkat Menteri; baik dalam format
terbatas (plurilateral dan bilateral) maupun multilateral. Namun semua upaya
tersebut belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Pihak-pihak utama yang
terlibat tampaknya belum dapat bergerak dari posisi awal mereka.
Target Program Kerja
WTO di tahun 2011 adalah 9 (sembilan) Komite/Negotiating
Groups diharapkan mengeluarkan “final texts” atau teks modalitas
yang akan menjadi dasar kesepakatan single undertaking Putaran
Doha pada bulan April 2011. Selanjutnya, kesepakatan atas keseluruhan paket Putaran Doha tersebut diharapkan selesai pada
bulan Juli 2011; dan pada akhirnya seluruh jadwal dan naskah hukum kesepakatan Putaran Doha
selesai (ditandatangani) akhir tahun 2011. Namun target tersebut tampaknya
sudah terlampaui batas waktunya dan belum ada perubahan terhadap Program Kerja
yang ada.
Pada bulan Desember
2011, telah diselenggarakan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO di Jenewa. KTM
menyepakati elemen-elemen arahan politis (political
guidance) yang akan
menentukan program kerja WTO dan Putaran Doha (Doha
Development Agenda)dua tahun ke
depan. Arahan politis yang
disepakati bersama tersebut terkait tema-tema sebagai berikut: (i) penguatan
sistem perdagangan multilateral dan WTO; (ii) penguatan aktivitas WTO dalam
isu-isu perdagangan dan pembangunan; dan (iii) langkah ke depan penyelesaian
perundingan Putaran Doha.
Sebuah titik terang
muncul pada KTM ke-9 (Bali, 3
– 7 Desember 2013), di mana untuk pertama kalinya dalam sejarah WTO,
organisasi ini dianggap telah “fully-delivered”. Negara-negara anggota WTO
telah menyepakati “Paket Bali”
sebagai outcome dari KTM ke-9 WTO. Isu-isu dalam Paket Bali—mencakup isu Fasilitasi Perdagangan, Pembangunan
dan LDCs, serta Pertanian—merupakan
sebagian dari isu perundingan DDA.
Disepakatinya Paket Bali merupakan suatu capaian historis. Pasalnya, sejak dibentuknya WTO pada tahun 1995,
baru kali ini WTO mampu merumuskan suatu perjanjian baru yaitu Perjanjian
Fasilitasi Perdagangan. Perjanjian ini bertujuan untuk melancarkan arus
keluar masuk barang antar negara di pelabuhan dengan melakukan reformasi pada
mekanisme pengeluaran dan pemasukan barang yang ada. Arus masuk keluar barang
yang lancar di pelabuhan tentu akan dapat mendukung upaya pemerintah Indonesia
untuk meningkatkan daya saing perekonomian dan memperluas akses pasar produk
ekspor Indonesia di luar negeri.
Selain itu, Paket Bali juga mencakup disepakatinya fleksibilitas dalam isu public
stokholding for food security. Hal ini akan
memberikan keleluasaan bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk
memberikan subsidi bagi ketersediaan pangan yang murah bagi rakyat miskin,
tanpa khawatir digugat di forum Dispute Settlement Body WTO.
Dengan Paket
Bali, kredibilitas WTO telah
meningkat sebagai satu-satunya forum
multilateral yang menangani kegiatan perdagangan internasional, sekaligus
memulihkan political confidence dari seluruh negara anggota WTO mengenai
pentingnya penyelesaian perundingan DDA. Hal tersebut secara jelas tercantum dalam Post Bali Work, di mana
negara-negara anggota diminta untuk menyusun work program penyelesaian DDA di
tahun 2014. Selesainya perundingan DDA
akan memberikan manfaat bagi negara-negara berkembang dan LDCs dalam
berintegrasi ke dalam sistem perdagangan multilateral.
Indonesia di WTO
Keterlibatan dan
posisi Indonesia dalam proses perundingan DDA didasarkan pada kepentingan
nasional dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.
Dalam kaitan ini, untuk memperkuat posisi runding Indonesia bergabung dengan
beberapa koalisi. Koalisi-koalisi tersebut antara lain G-33, G-20, NAMA-11,
yang kurang lebih memiliki kepentingan yang sama. Indonesia terlibat aktif
dalam kelompok-kelompok tersebut dalam merumuskan posisi bersama yang
mengedepankan pencapaian development
objectives dari DDA.
Indonesia juga senantiasa terlibat aktif di isu-isu yang menjadi kepentingan
utama Indonesia, seperti pembangunan, kekayaan intelektual, lingkungan hidup,
dan pembentukan aturan WTO yang mengatur perdagangan multilateral.
Indonesia selaku
koordinator G-33 juga terus melaksanakan komitmen dan peran kepemimpinannya dengan mengadakan serangkaian pertemuan tingkat
pejabat teknis dan Duta Besar/Head
of Delegations, Senior
Official Meeting dan
Pertemuan Tingkat Menteri; baik secara rutin di Jenewa maupun di luar Jenewa.
Hal ini bertujuan demi tercapainya kesepakatan yang memberikan ruang bagi
negara berkembang untuk melindungi petani kecil dan miskin. Sebagai koalisi
negara berkembang, G-33 tumbuh menjadi kelompok yang memiliki pengaruh besar
dalam perundingan pertanian; anggotanya saat ini bertambah menjadi 46 negara.
Indonesia menilai
bahwa apa yang sudah disepakati sampai saat ini (draf modalitas pertanian dan
NAMA) merupakan basis yang kuat bagi perundingan selanjutnya yang sudah
mencapai tahap akhir. Dalam kaitan ini, adanya upaya untuk meninjau kembali
kesepakatan umum yang sudah dicapai diharapkan tidak akan mengubah keseimbangan
yang ada dan backtracking kemajuan yang sudah berhasil dicapai.
Negara-negara anggota
diharapkan bersikap pragmatis dan secepatnya menyelesaikan Putaran Doha
berdasarkan tingkat ambisi danbalance yang ada saat ini. Selanjutnya,
diharapkan negara-negara anggota ini membicarakan ambisi baru pasca-Doha, walaupun adanya dorongan dari
negara maju untuk meningkatkan level
of ambition akses pasar
Putaran Doha melebihi Draf Modalitas tanggal 6 Desember 2008.
Indonesia memiliki kepentingan untuk tetap aktif mendorong komitmen WTO untuk melanjutkan perundingan Doha. Indonesia terbuka atas cara-cara baru untuk menyelesaikan perundingan dengan tetap mengedepankan prinsip single undertaking dan mengutamakan pembangunan bagi negara berkembang dan LDCs.
Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional
Gedung Utama lantai 8. Jl. M.I. Ridwan Rais No. 5 Jakarta 10110, +62 23 528600 Ext. 36900 Fax. (021) 23528610
Copyright 2017